![]() |
Sumber gambar: brucemctague.com |
Dear Ayah,
Ayah, apa kabar? Semoga Ayah baik-baik saja dan
selalu dalam lindungan Allah swt. Ayah, sepertinya aku merasakan sesuatu yang
berbeda. Sejak aku menginjak Sekolah Menengah Atas aku merasakan hal yang
berbeda, tak seperti dulu saat aku masih kecil. Aku dan Ayah terasa jauh. Dan
kini semakin jauh. Sudah cukup lama aku dan Ayah tak saling bertemu, sejak aku
kembali ke ranah tempatku menuntut ilmu.
Ayah,
aku rindu.. Apakah Ayah tahu?
“Ayah,
aku rindu.” Entah mengapa kata-kata itu sulit untuk ku ucapkan pada Ayah. Bibir
ini bungkam dan seolah beku. Sulit sekali untuk mengatakan hal itu pada Ayah.
Bahkan lewat telepon pun rasanya sulit. Bagaimana mungkin Ayah bisa tahu kalau
aku tak bisa mengatakannya.
Lewat do’a.
Hanya
lewat lantunan-lantunan do’a aku bercerita. Selalu ku do’akan yang terbaik
untuk Ayah.
Aku
Ingat.
Ayah,
aku masih ingat ketika aku masih kecil, dulu saat Ayah belum pulang kerumah ketika
hujan deras, saat Ayah pergi seharian, saat Ayah tak ada dirumah, aku selalu
merasa sedih hingga aku menangis sambil memanggil-manggil Ayah, mengambil baju
Ayah dan memeluk baju Ayah. Karena saat itu aku berfikir tiada lagi yang bisa
menjagaku selain Ayah. Ibu merantau, dan kakak masih sama-sama kecil, tak mungkin
pula saat itu kakak bisa menjaga ku seperti Ayah, jadi aku takut ketika Ayah
pergi. Bahkan ketika Ayah tertidur dan aku bangunkan tak lekas bangun, aku
seketika menangis. Kenapa? Karena aku takut kehilangan Ayah.
Aku
juga masih ingat dulu aku tak bisa tidur sebelum memengang telinga Ayah,
pura-pura sudah tidur didepan televisi hanya agar Ayah menggendongku ke tempat
tidur. Mungkin itu konyol, tapi itu yang kulakukan dulu pada Ayah saat aku
masih kecil.
Aku
masih ingat pula ketika pertama kali bertemu Ayah lagi setelah cukup lama tak
bertemu. Saat itu libur semester pertama kuliah tiba, aku pulang kerumah. Aku
melihat rambut Ayah yang memutih. Saat itu pula aku sadar bahwa Ayah sudah
semakin tua. Ayah seolah membiarkan rambut uban itu tumbuh, membuat semakin
terlihat jelas uban dikepala Ayah. Padahal dulu aku yang sering mencabut uban
Ayah. Ayah, saat itu aku tak bisa membendung air mataku. Tapi, aku
menyembunyikan itu dari Ayah, karena aku tak mau Ayah tahu hal itu.
Maaf.
Ayah,
maafkan anakmu ini. Maafkan aku yang kadang membantah Ayah, maafkan aku yang sering
jengkel ketika kemauannya tak tercukupi, maafkan aku yang sering berontak
dengan larangan dan nasihat Ayah yang tak sependapat denganku. Ayah, kau memang
tipe orang berkepribadian koleris sedangkan aku melankolis. Kadang memang
tuntutan-tuntutan Ayah terasa begitu menekanku. Ayah memang tegas dan sangat protective,
tapi aku tahu itu pasti demi kebaikanku, anak perempuan satu-satunya.
Rindu.
Ayah, aku rindu.. Aku
rindu kedekatan dan kebersamaanku dengan Ayah. Aku rindu suara, tawa, dan canda
Ayah. Aku rindu segalanya tentang Ayah. (Setia Rahayu)NB: Surat ini diambil dari folder dokumen di laptop penulis. Harusnya penulis ungkapkan ini saat peringatan Hari Ayah tahun lalu (2016). Dan penulis sengaja ungkapkan saat ini karena terlalu lama jika menunggu Hari Ayah 2017 :D (Takutnya tulisannya berdebu dan banyak sarang laba-labanya :D). Lagipula sayang juga kalau membiarkan tulisan ini hanya tersimpan di folder.
Komentar
Posting Komentar